INI JALANKU
Oleh: Isky
Kamil
Pintu
ruanganku diketuk dengan semangat. “Masuk.” Dua kepala menjenguk masuk
bersamaan.
“Lagi
sibuk, Mbak?” Mita, assistenku bertanya ramah.
“Nggak, biasa saja.
Lagi bengong, kok,” candaku.
“Sindrom weekend
ya, Mbak. Jumat sore saja sudah nggak
bisa konsen. Hehehe.” Goda Santi,
staf senior di divisiku.
“Itu Kamu kali. Udah kangen ya, sama yayangnya?” kataku
balas menggoda.
Muka Santi yang tadinya ceria menjadi sedikit redup, “Yayangku lagi nggak di Jakarta, Mbak. Tugas luar kota.”
Muka Santi yang tadinya ceria menjadi sedikit redup, “Yayangku lagi nggak di Jakarta, Mbak. Tugas luar kota.”
“Wow, rajin amat, weekend
juga kerja?”
“Kan kejar
setoran, Mbak. Tanggal sudah deket.” Celetuk Mita.
“Oh ya, memang kapan nih
tanggal pastinya?” tanyaku.
“Hehehe… Belum
bener-bener fix, Mbak. Nanti juga
Mbak tahu, deh.” Senyum Santi kembali
merekah. “Anyway, sebenarnya Kami
berdua ke sini mau mengajak Mbak dinner bareng,
daripada pulang ke rumah masing-masing kemudian meratapi nasib di kamar, lebih baik
meratapi nasib bersama-sama di kafe sambil ngopi-ngopi,
lebih seru, kan?” guraunya.
“Hahaha… enak saja, Aku nggak pernah meratapi nasib, ya. Lagian maaf, malam ini Aku harus membereskan laporan untuk meeting hari Senin. Kalian tahu sendirikan bagaimana si bos.” Senyumku pada mereka berdua.
“Hahaha… enak saja, Aku nggak pernah meratapi nasib, ya. Lagian maaf, malam ini Aku harus membereskan laporan untuk meeting hari Senin. Kalian tahu sendirikan bagaimana si bos.” Senyumku pada mereka berdua.
“Yaaah, nggak seru
ah si Mbak.” Koor mereka berdua.
“InsyaAllah nanti deh jalan bareng, Kita atur tanggalnya
dulu, ya. Pasti lebih seru kalau direncanakan dengan baik,” kataku memcoba agar
tidak mengecewakan mereka.
“Ya ampyuuun, itu
jawaban manajer banget ya, masa jalan
sama teman saja harus direncanakan dulu. Yang spontan itu lebih enak, Mbak.”
Gerutu Mita sambil tertawa.
“Jadi mau nggak nih?
Kalau nggak mau ya nggak apa-apa.”
Tanyaku, ultimatum dalam canda.
“Iya deh, mau.”
Santi bangun dari kursi yang didudukinya. “Yuk
ah, Mit. Sepertinya usaha Kita kali ini gagal total.” Ajaknya pada Mita.
“He’eh nih. Yuk ah. Daah Mbak, Happy weekend
ya.”
Santi dan Mita beranjak meninggalkanku di ruangan yang semakin hari kurasa terlalu besar, terlalu dingin, dan terlalu sepi.
Santi dan Mita beranjak meninggalkanku di ruangan yang semakin hari kurasa terlalu besar, terlalu dingin, dan terlalu sepi.
***
Jalan-jalan protokol di Jakarta tidak pernah menyenangkan
untuk dilewati di jam pulang kerja, apalagi saat hujan. Tapi hari ini aku menyukurinya,
hari ini aku memerlukan hujan. Suara titiknya yang bersentuhan dengan rangka
mobilku menjadi harmoni yang indah bila digabung dengan keheningan dalam mobil
ini. Kekontrasannya dengan hiruk pikuk lalu lintas di luar sana, menjadi
ilustrasi dari kehidupanku. Kesendirian di tengah-tengah keramaian.
Entah mengapa, belakangan ini aku merasa sangat lelah,
kelelahan yang tidak tergambarkan, tidak terdefinisikan, dan bahkan tidak
kuketahui dengan pasti apa sebabnya. Aku mulai malas sekali keluar rumah, malas
bersosialisasi, hanya rutinitas kerja yang mampu mendorongku untuk melangkah
keluar dari sarang kecilku yang nyaman. Senyum dan canda mulai memberatkan
buatku, seperti aku sedang memaksa diriku untuk berubah menjadi orang lain,
seseorang yang bukan aku.
Lampu merah selalu berhasil menghentikan gerak kendaraan
yang beroda empat, namun tidak demikian untuk yang beroda dua. Para pengendara
yang sepertinya sudah sangat tidak sabar untuk sampai ke rumah itu membawa
pacuannya untuk terus berusaha berada di barisan yang paling depan. Seperti
ombak yang berkejaran dan kemudian terhenti begitu saja ketika menyentuh
pantai. Dan aku tersenyum, mengingat rutukan seorang teman.
“Lihat tuh, kerumunan pengendara motor, dan menilik
panjangnya macet ini berarti pengendara mobil dan pengguna angkutan umum di
Jakarta ini juga bukan sedikit. Masa di antara ribuan orang pengguna jalan raya
ini nggak ada satu pun yang
ditakdirkan untuk menua dengan kita. Impossible!
Nggak mungkin banget!”
Begitulah, terus terang pertanyaan serupa pernah aku
tanyakan pada diriku sendiri. Bukan sekali, berkali-kali, sejak usiaku masih di
pertengahan 20 hingga kini yang semakin mendekat pada angka 40. Tapi akhirnya
aku harus menjawab pertanyaanku sendiri dengan candaan dari seorang teman yang
lain.
“Well, mungkin si
“dia” masih terjebak macet di Sudirman, Kamu tahu sendiri kan bagaimana
macetnya Sudirman itu?”
***
Kubelokkan mobil mengarah masuk ke garasi rumah mungilku,
sempat mataku memandang dua orang yang sedang duduk berdua di teras rumah
sebelah. Suami istri muda yang baru pindah beberapa hari yang lalu. Terus
terang aku sering muak melihat gaya bermesraan banyak pasangan yang pernah aku
temui, tapi entah kenapa tidak dengan mereka. Sepertinya mereka benar-benar
saling mencintai sehingga kebahagiaan yang mereka pancarkan juga menular pada siapa
saja yang melihatnya. Kumatikan mesin mobil dan saat kubuka pintu, kudengar
samar-samar suara tawa sang istri. Penuh bahagia, cinta dan harapan.
Seandainya aku menikah sekarang, bisakah aku tertawa seperti
itu?
***
“Iya, jangan khawatir, presentasi untuk Mr. Takayama masih
akan berjalan pada tanggal yang sudah ditentukan. Aku mungkin cuma nggak masuk hari ini saja kok, Mit. Kepalaku ini berat sekali
sejak kemarin sore.”
“Terus udah ke dokter belum, Mbak?” suara Mita terdengar
khawatir.
“Udah kemarin malam, dokter rekomendasi aku untuk istirahat
dua hari. Tapi ini juga udah lebih baik dari kemarin, jadi aku yakin besok
sudah bisa masuk lagi.”
“Ya sudah, tapi jangan dipaksakan ya, Mbak. Soal persiapan
presentasi yang kecil-kecil bisa mbak serahkan padaku, toh semua materi sudah siap. Ada apa-apa, aku dihubungi Mbak. Yang
penting Mbak benar-benar fit pas hari presentasinya. Sekali lagi, jangan ngoyo ya, Mbak” kicaunya.
“Siap komandan.” Candaku. Mita tertawa. Dia memang asisten
jempolan, perhatiannya terhadapku kadang mengalahkan perhatian adik-adikku
sendiri. Belum sempat aku meletakkan handphone-ku,
kudengar suara ketukan pintu. Siapa yang datang? Sejak aku tinggal di sini,
memang hampir tidak pernah aku mendengar suara pintu depanku diketuk. Adik-adik
dan orang tuaku selalu menelepon ketika akan datang dan terus terang
kesibukanku bekerja hampir tidak menyisakan waktu untukku beramah tamah dengan
tetangga. Suara ketukan itu terdengar lagi, sekarang aku yakin, aku memang
tidak sedang berhalusinasi.
Pintu yang kubuka menampakkan wajah tetanggaku, tetangga
sebelah rumahku, si istri yang berbahagia. Saat ini tidak terlihat kebahagiaan
itu, yang ada hanya kepanikan. “Mbak, tolong Saya, anak Saya demam tinggi.
Suami Saya sedang tugas luar kota, Saya lihat mobil Mbak ada di garasi, jadi Saya
pikir datang ke sini untuk meminta tolong pada Mbak, Saya perlu mengantar anak Saya
ke dokter.” Gabungan dari muka panik dan rentetan kalimatnya yang sangat cepat
menyediakan tidak ada pilihan lain buatku selain membantunya.
Sore itu cuaca cerah ketika aku mengantarnya kembali ke
rumahnya. Dania, putri kecilnya yang berumur 18 bulan tertidur lelap dalam
dekapannya. “Makasih banyak ya, Mbak Raiyya. Maaf kalau Tita merepotkan, ya.”
“No problem, Aku
seneng kok, jadi bisa kenal sama Kamu
dan Dania. Kalau ada apa-apa lagi jangan sungkan ya minta tolong sama Aku.”
Senyumku berusaha menghilangkan rasa sungkannya. “Aku pulang dulu ya.”
***
Percikan-percikan air dari selang penyiram bungaku
membiaskan warna pelangi yang indah. Pikiranku melayang pada pembicaraanku
dengan mama di telepon semalam.
“Raiyya, adikmu Raina minta izin pada Mama dan Papa untuk
menikah tahun ini. Kami berdua pikir sebelum kami menyetujuinya kami harus
bertanya padamu dulu. Kalau-kalau kamu juga punya rencana untuk tahun ini.
Kalau memang ada, bisa nanti kita atur agar acaranya Raina akhir tahun saja
biar kamu duluan.” Aku hanya tersenyum getir dalam diam. Dengan siapa, Ma?
“Nggak Ma, aku belum ada rencana kok, biarkan saja Raina memilih tanggal yang dia suka, kasihan
kalau harus menunggu aku.” Giliran hening di sana. Aku sadar betul arti
keheningan itu. Tapi aku bisa apa?
“Acara lamaran rencananya Sabtu, dua minggu lagi. Kamu bisa
datangkan?”
“Bisa, Ma. Apa yang bisa aku bantu? Semua persiapan sudah
matang?”
“Kalau soal persiapan yang detail Raisya yang banyak
membantu Raina. Mama belakangan ini agak kurang sehat jadi hanya memberi saran
saja.”
“Jaga kesehatan ya, Ma. Kasihan Raina, pasti dia ingin
sekali Mama yang mengurus acara itu, cuma Mama yang paling jago dalam hal-hal
seperti itu. Masa mau menyerahkan ke Raisya atau ke Papa, mau disuguhi apa
calon besan nanti, ketoprak abang-abang keliling?” candaku mencoba membuat
suasana jadi ringan. Papaku memang terkenal sebagai orang yang paling santai di
keluarga kami. Mama pernah bercanda dulu kalau ada acara pertemuan penting
diserahkan kepada Papa bisa-bisa para tamu cuma disuguhi ketoprak abang-abang
keliling.
Suara Mama masih sedih ketika mengakhiri pembicaraan, jelas candaku tentang Papa dan abang ketoprak tidak berhasil membuatnya ceria. Tuhan, aku sangat bersyukur dikaruniai Mama seperti dia. Dia bukan hanya ibu yang menjaga fisik anaknya namun juga sangat hati-hati dalam menjaga perasaan kami. Namun kehati-hatiannya yang berlebihan terhadap perasaanku yang berhubungan dengan keterlambatan jodohku justru membuat aku bertambah sedih. Aku tidak ingin keadaanku mengurangi kebahagiaan adik-adikku yang menemukan belahan jiwa mereka lebih cepat dibanding aku.
Suara Mama masih sedih ketika mengakhiri pembicaraan, jelas candaku tentang Papa dan abang ketoprak tidak berhasil membuatnya ceria. Tuhan, aku sangat bersyukur dikaruniai Mama seperti dia. Dia bukan hanya ibu yang menjaga fisik anaknya namun juga sangat hati-hati dalam menjaga perasaan kami. Namun kehati-hatiannya yang berlebihan terhadap perasaanku yang berhubungan dengan keterlambatan jodohku justru membuat aku bertambah sedih. Aku tidak ingin keadaanku mengurangi kebahagiaan adik-adikku yang menemukan belahan jiwa mereka lebih cepat dibanding aku.
***
Semuanya terjadi begitu cepat, satu menit aku sedang
memandangi percikan air selangku, menit berikutnya badanku sendiri kuyup karena
semprotan air dari selang. Bukan, bukan selangku. Air yang banyak itu berasal
dari selang Tita, yang ternyata juga sedang menyiram bunga-bunganya.
“Aduh, maaf ya, Mbak. Ini nih, Papanya Dania iseng, dia besarin keran airnya, padahal Aku
lagi pasang alat semprotnya di kekuatan maksimal.” Kata Tita sambil cepat
berlari mendekat ke bagian pagar yang menjadi pemisah rumah kami berdua.
“Nggak apa-apa
kok.” Kataku yang masih setengah tercengang.
***
“Ya, Aku sendiri di sini. Udah setua Aku harus mandiri, kan?” candaku pada Tita, saat kami
menikmati kue coklat buatannya. Kue permintaan maaf karena telah membuat aku
basah kuyup tadi pagi.
“Mbak belum tua kali. Kalau Aku tebak, paling umur Mbak baru
31, betul kan?” pembawaan Tita yang
ceria membuat pembicaraan kami sangat menyenangkan.
“Kamu lagi menggombal, ya? Umurku sudah mendekati 40.”
“Yaaah, ketahuan deh.” Tita berpura-pura kecewa. Aku
tertawa. Seperti ada beban yang menguap seiring tawaku. Dan lembayung senja
hari itu lebih indah dari biasanya.
***
Acara lamaran Raina berlangsung khidmat. Seluruh keluarga
seperti sudah mendapat wejangan dari Mama untuk tidak bersikap atau menunjukkan
perasaan bahagia yang terlalu berlebihan. Kasihan, sepertinya wajah semua orang
menjadi kaku karena itu. Aku ingin menjerit, berkata pada semua, “Aku mohon,
bersikaplah dengan biasa saja!” tapi tidak tersampaikan, aku tidak seberani
itu. Akhirnya aku mencoba bersembunyi dalam tawa kecil Aaron, keponakan
kecilku, cucu pertama Mama, anak dari Raisya. Bercanda dengan Aaron membuat aku
rindu pada sarang kecilku yang nyaman. Rindu juga pada Dania.
Hal-hal ini yang membuatku semakin menjauh dari keluargaku
sendiri. Aku merasa bersalah jika keberadaanku di tengah-tengah mereka justru
menjadi alasan bagi mereka bersedih atau menahan kebahagiaan mereka. Kapan
agaknya mereka bisa menerimaku apa adanya? Dengan kekuranganku yang satu ini?
***
Hidup punya cara yang unik untuk melengkapi kekurangan-kekurangan
yang ada. Aku tidak memiliki cinta dan keluarga kecilku sendiri saat ini, tapi
aku dapat menikmati semuanya hanya dengan melihat Tita, Andry, dan Dania.
Mereka telah menjadi bagian dari hidupku.
Andry suami yang baik, pelindung yang kuat untuk Tita dan Dania. Lelaki romantis yang bisa membuat wanitanya tersipu-sipu malu dengan sikapnya. Humoris dan ramah. Tita memang beruntung. Kadang dalam doaku pernah juga kusertakan sifat-sifat yang ada dalam Andry agar sifat-sifat yang sama ada juga dalam diri belahan jiwaku nanti. Walau aku belum tahu kapan dia akan datang.
Andry suami yang baik, pelindung yang kuat untuk Tita dan Dania. Lelaki romantis yang bisa membuat wanitanya tersipu-sipu malu dengan sikapnya. Humoris dan ramah. Tita memang beruntung. Kadang dalam doaku pernah juga kusertakan sifat-sifat yang ada dalam Andry agar sifat-sifat yang sama ada juga dalam diri belahan jiwaku nanti. Walau aku belum tahu kapan dia akan datang.
Sore itu, dapurku dipenuhi aroma saus pasta. Tita baru saja
mengajarkanku membuat lasagna dengan resep kesukaannya. Kami duduk menikmati
lasagna tersebut dengan lemon ice tea.
“Mbak, Aku punya kejutan, tapi Aku mau Mbak tebak dulu apa
kejutannya itu,” katanya sambil tersenyum seakan-akan ingin menggodaku agar
penasaran akan cerita yang akan disampaikannya.
“Kenapa? Dania mau punya adik?” tebakku santai.
“Iiiiiih, Mbak ini
benar-benar nggak seru, deh. Kok
bisa tahu, sih?” tawa renyah Tita
memenuhi dapurku.
“Ya tahu lah, insting. Hahahaha…
selamat ya, sudah berapa minggu?” tawaku sambil memeluknya erat.
“Belum tahu, baru tahu tadi pagi pakai test pack, besok baru mau ke dokter.”
Maka sejak hari itu aku juga menikmati kebahagiaan menjalani
bulan demi bulan persiapan menyambut calon buah hati, walaupun bukan punyaku
sendiri.
***
Pintu ruanganku diketuk.
“Masuk.”
Santi berjalan menghampiriku sambil tersenyum. “Mau ikutan
makan siang bareng Kami, Mbak? Kami mau
coba kafe baru dekat kantor tunanganku. Nanti dia jemput ke sini.”
“Wah, sepertinya
seru tapi Aku baru saja pesan antar ke sini. Lain kali saja, ya.” senyumku. “Eh, tapi Kamu bisa tolong Aku nggak, Aku
perlu pendapat nih?” tahanku sebelum
Santi keluar dari ruanganku.
“Boleh, tentang apa?” Santi kembali mendekat.
“Ini nih.” Jariku
lincah menekan mouse. Menutup laporan
yang sedang kubuat dan membuka sebuah halaman online shop. Gambar-gambar mainan bayi yang lucu-lucu itu terpampang
lagi. “Dari tadi malam Aku berusaha pilih, tapi semua lucu-lucu. Menurut Kamu
yang mana yang pantas Aku beli?”
“Raisya mau punya baby
lagi?”
“Oh bukan, ini
untuk anak tetanggaku.” Senyumku.
“Hmm… ini lucu,
tapi ini lucu juga. Wah, Mbak, Aku
juga bingung nih.” Santi menunjuk
beberapa gambar yang ada di screen.
“Hahaha… tuh kan,
seperti ingin beli semua, ya?”
“Hehehe… kalau Mbak
sih bisa beli semua, kalau Aku bisa bangkrut, Mbak. Tapi setidaknya yang
dua tadi jangan dilewatkan, Mbak. Aku turun dulu ya, sepertinya tunanganku
sudah sampai.”
“Ok, have fun, ya.
Maaf nggak bisa ikut.”
Aku sedang menikmati makan siang sendiri ketika tiba-tiba handphone-ku berbunyi. Dari Andry.
“Hallo? Ndry?”
Suara Andry terdengar berat, “Raiyya, Tita…”
***
Calon bayi itu pergi, kegugurannya menyebabkan pendarahan
yang hebat pada Tita. Keadaannya kritis. Aku berkejaran dengan waktu mencoba
membelah kemacetan untuk sampai segera di rumah sakit.
Seperti film dengan gerakan lambat ketika aku melihat Andry,
Dania, dan seorang dokter berbaju putih di lorong rumah sakit itu. Andry
menunduk, menggelengkan kepalanya kemudian menyetarakan dirinya dengan Dania.
Memeluknya. Dania ikut menangis melihat ayahnya sesenggukan.
Tita…
Kumohon jangan pergi…
Bagaimana Andry?
Bagaimana Dania?
Bagaimana aku?
Duniaku tiba-tiba gelap, yang kurasa hanya sepasang tangan
menangkap tubuhku yang jatuh.
***
Beberapa bulan berlalu. Jakarta masih bergelut dengan
kemacetannya. Macet yang harus selalu dihadapi oleh para pengguna jalan dengan
kreatif. Mendengarkan musik, berbicara di handphone,
membaca koran atau seperti aku, mengulang kembali kejadian yang telah dilalui
hari ini.
“Ternyata enak juga ya makanan di sini.” Kataku sambil
meminum cappuccino blended.
“Ke mana saja, Mbak?” ejek Santi dan Mita.”
“Lho? kan baru sekarang saat yang tepat. Proyek
terakhir kita memenuhi target kerja tahun ini dan Aku punya sesuatu yang harus
disampaikan untuk kalian berdua.” Kataku sambil mengeluarkan dua amplop
undangan berwarna biru muda yang cantik dari tas, kemudian kuulurkan pada
mereka. Keduanya memandang undangan itu dengan ekspresi terkejut.
“Mbak mau married?
kok nggak pernah cerita, sih? Sama siapa? Ya ampun, Kami ikut
seneng banget,” rentet mereka
bergantian dengan cepat. Aku tidak dapat menangkap lagi siapa mengatakan apa.
Sebelum mereka membuat seluruh pengunjung kafe ini memandang kami, aku segera
menghentikan mereka berdua.
“Bukan Aku. Ini undangan Rania.” Mereka berdua terdiam.
Ekspresi mereka sangat-sangat bersalah.
“Mama dan Rania minta Aku sampaikan ini buat kalian berdua.
Katanya, acara Rania nanti bakalan sepi kalau nggak ada kalian.” Kataku sambil tertawa mencoba menghilangkan rasa
bersalah itu. Mereka berdua tertawa malu sambil mengambil undangan itu.
***
Aku membelokkan mobilku masuk ke dalam garasi, memandangi
rumah sebelahku yang kini sepi. Andry memutuskan untuk memboyong Dania tinggal
di rumah orang tuanya, setelah kepergian Tita. Agar ada yang menjaga Dania
dengan baik, katanya. Maka terpisahlah duniaku dan dunia mereka. Tapi sejauh
apapun mereka pergi, apapun yang Tita telah berikan padaku tidak akan bisa
mereka bawa pergi.
“Aku percaya Tuhan memberikan kita
jalan hidup yang pada akhirnya akan melengkapi kita masing-masing, Mbak. Jalan
hidup yang membuat kita bisa mengumpulkan pahala sebanyak-banyaknya. Ada
orang-orang yang perlu pernikahan untuk memperbanyak pahala dalam hidupnya,
maka Tuhan berikan mereka pernikahan. Ada orang-orang yang sebelum menikah pun
bisa mengumpulkan banyak pahala, maka mungkin untuk orang-orang seperti ini
Tuhan biarkan dulu mereka mengumpulkan pahala sebanyak-banyaknya tanpa
pernikahan, hingga saat yang tepat nanti.”
Aku masih menunggu saat yang tepat itu, Tita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar