Senin, 26 November 2012

[Cerpen] Ini Jalanku


INI JALANKU
Oleh: Isky Kamil

Pintu ruanganku diketuk dengan semangat. “Masuk.” Dua kepala menjenguk masuk bersamaan.
“Lagi sibuk, Mbak?” Mita, assistenku bertanya ramah.
Nggak, biasa saja. Lagi bengong, kok,” candaku.
“Sindrom weekend ya, Mbak. Jumat sore saja sudah nggak bisa konsen. Hehehe.” Goda Santi, staf senior di divisiku.
“Itu Kamu kali. Udah kangen ya, sama yayangnya?” kataku balas menggoda.
            Muka Santi yang tadinya ceria menjadi sedikit redup, “Yayangku lagi nggak di Jakarta, Mbak. Tugas luar kota.”
“Wow, rajin amat, weekend juga kerja?”
Kan kejar setoran, Mbak. Tanggal sudah deket.” Celetuk Mita.
“Oh ya, memang kapan nih tanggal pastinya?” tanyaku.
Hehehe… Belum bener-bener fix, Mbak. Nanti juga Mbak tahu, deh.” Senyum Santi kembali merekah. “Anyway, sebenarnya Kami berdua ke sini mau mengajak Mbak dinner bareng, daripada pulang ke rumah masing-masing kemudian meratapi nasib di kamar, lebih baik meratapi nasib bersama-sama di kafe sambil ngopi-ngopi, lebih seru, kan?” guraunya.
            Hahaha… enak saja, Aku nggak pernah meratapi nasib, ya. Lagian maaf, malam ini Aku harus membereskan laporan untuk meeting hari Senin. Kalian tahu sendirikan bagaimana si bos.” Senyumku pada mereka berdua.
Yaaah, nggak seru ah si Mbak.” Koor mereka berdua.
InsyaAllah nanti deh jalan bareng, Kita atur tanggalnya dulu, ya. Pasti lebih seru kalau direncanakan dengan baik,” kataku memcoba agar tidak mengecewakan mereka.
Ya ampyuuun, itu jawaban manajer banget ya, masa jalan sama teman saja harus direncanakan dulu. Yang spontan itu lebih enak, Mbak.” Gerutu Mita sambil tertawa.
“Jadi mau nggak nih? Kalau nggak mau ya nggak apa-apa.” Tanyaku, ultimatum dalam canda.
“Iya deh, mau.” Santi bangun dari kursi yang didudukinya. “Yuk ah, Mit. Sepertinya usaha Kita kali ini gagal total.” Ajaknya pada Mita.
He’eh nih. Yuk ah. Daah Mbak, Happy weekend ya.”
Santi dan Mita beranjak meninggalkanku di ruangan yang semakin hari kurasa terlalu besar, terlalu dingin, dan terlalu sepi.
***

Jalan-jalan protokol di Jakarta tidak pernah menyenangkan untuk dilewati di jam pulang kerja, apalagi saat hujan. Tapi hari ini aku menyukurinya, hari ini aku memerlukan hujan. Suara titiknya yang bersentuhan dengan rangka mobilku menjadi harmoni yang indah bila digabung dengan keheningan dalam mobil ini. Kekontrasannya dengan hiruk pikuk lalu lintas di luar sana, menjadi ilustrasi dari kehidupanku. Kesendirian di tengah-tengah keramaian.
Entah mengapa, belakangan ini aku merasa sangat lelah, kelelahan yang tidak tergambarkan, tidak terdefinisikan, dan bahkan tidak kuketahui dengan pasti apa sebabnya. Aku mulai malas sekali keluar rumah, malas bersosialisasi, hanya rutinitas kerja yang mampu mendorongku untuk melangkah keluar dari sarang kecilku yang nyaman. Senyum dan canda mulai memberatkan buatku, seperti aku sedang memaksa diriku untuk berubah menjadi orang lain, seseorang yang bukan aku.
Lampu merah selalu berhasil menghentikan gerak kendaraan yang beroda empat, namun tidak demikian untuk yang beroda dua. Para pengendara yang sepertinya sudah sangat tidak sabar untuk sampai ke rumah itu membawa pacuannya untuk terus berusaha berada di barisan yang paling depan. Seperti ombak yang berkejaran dan kemudian terhenti begitu saja ketika menyentuh pantai. Dan aku tersenyum, mengingat rutukan seorang teman.
“Lihat tuh, kerumunan pengendara motor, dan menilik panjangnya macet ini berarti pengendara mobil dan pengguna angkutan umum di Jakarta ini juga bukan sedikit. Masa di antara ribuan orang pengguna jalan raya ini nggak ada satu pun yang ditakdirkan untuk menua dengan kita. Impossible! Nggak mungkin banget!”
Begitulah, terus terang pertanyaan serupa pernah aku tanyakan pada diriku sendiri. Bukan sekali, berkali-kali, sejak usiaku masih di pertengahan 20 hingga kini yang semakin mendekat pada angka 40. Tapi akhirnya aku harus menjawab pertanyaanku sendiri dengan candaan dari seorang teman yang lain.
Well, mungkin si “dia” masih terjebak macet di Sudirman, Kamu tahu sendiri kan bagaimana macetnya Sudirman itu?”
***

Kubelokkan mobil mengarah masuk ke garasi rumah mungilku, sempat mataku memandang dua orang yang sedang duduk berdua di teras rumah sebelah. Suami istri muda yang baru pindah beberapa hari yang lalu. Terus terang aku sering muak melihat gaya bermesraan banyak pasangan yang pernah aku temui, tapi entah kenapa tidak dengan mereka. Sepertinya mereka benar-benar saling mencintai sehingga kebahagiaan yang mereka pancarkan juga menular pada siapa saja yang melihatnya. Kumatikan mesin mobil dan saat kubuka pintu, kudengar samar-samar suara tawa sang istri. Penuh bahagia, cinta dan harapan.
Seandainya aku menikah sekarang, bisakah aku tertawa seperti itu?

***

“Iya, jangan khawatir, presentasi untuk Mr. Takayama masih akan berjalan pada tanggal yang sudah ditentukan. Aku mungkin cuma nggak masuk hari ini saja kok, Mit. Kepalaku ini berat sekali sejak kemarin sore.”
“Terus udah ke dokter belum, Mbak?” suara Mita terdengar khawatir.
“Udah kemarin malam, dokter rekomendasi aku untuk istirahat dua hari. Tapi ini juga udah lebih baik dari kemarin, jadi aku yakin besok sudah bisa masuk lagi.”
“Ya sudah, tapi jangan dipaksakan ya, Mbak. Soal persiapan presentasi yang kecil-kecil bisa mbak serahkan padaku, toh semua materi sudah siap. Ada apa-apa, aku dihubungi Mbak. Yang penting Mbak benar-benar fit pas hari presentasinya. Sekali lagi, jangan ngoyo ya, Mbak” kicaunya.
“Siap komandan.” Candaku. Mita tertawa. Dia memang asisten jempolan, perhatiannya terhadapku kadang mengalahkan perhatian adik-adikku sendiri. Belum sempat aku meletakkan handphone-ku, kudengar suara ketukan pintu. Siapa yang datang? Sejak aku tinggal di sini, memang hampir tidak pernah aku mendengar suara pintu depanku diketuk. Adik-adik dan orang tuaku selalu menelepon ketika akan datang dan terus terang kesibukanku bekerja hampir tidak menyisakan waktu untukku beramah tamah dengan tetangga. Suara ketukan itu terdengar lagi, sekarang aku yakin, aku memang tidak sedang berhalusinasi.
Pintu yang kubuka menampakkan wajah tetanggaku, tetangga sebelah rumahku, si istri yang berbahagia. Saat ini tidak terlihat kebahagiaan itu, yang ada hanya kepanikan. “Mbak, tolong Saya, anak Saya demam tinggi. Suami Saya sedang tugas luar kota, Saya lihat mobil Mbak ada di garasi, jadi Saya pikir datang ke sini untuk meminta tolong pada Mbak, Saya perlu mengantar anak Saya ke dokter.” Gabungan dari muka panik dan rentetan kalimatnya yang sangat cepat menyediakan tidak ada pilihan lain buatku selain membantunya.
Sore itu cuaca cerah ketika aku mengantarnya kembali ke rumahnya. Dania, putri kecilnya yang berumur 18 bulan tertidur lelap dalam dekapannya. “Makasih banyak ya, Mbak Raiyya. Maaf kalau Tita merepotkan, ya.”
No problem, Aku seneng kok, jadi bisa kenal sama Kamu dan Dania. Kalau ada apa-apa lagi jangan sungkan ya minta tolong sama Aku.” Senyumku berusaha menghilangkan rasa sungkannya. “Aku pulang dulu ya.”

***

Percikan-percikan air dari selang penyiram bungaku membiaskan warna pelangi yang indah. Pikiranku melayang pada pembicaraanku dengan mama di telepon semalam.
“Raiyya, adikmu Raina minta izin pada Mama dan Papa untuk menikah tahun ini. Kami berdua pikir sebelum kami menyetujuinya kami harus bertanya padamu dulu. Kalau-kalau kamu juga punya rencana untuk tahun ini. Kalau memang ada, bisa nanti kita atur agar acaranya Raina akhir tahun saja biar kamu duluan.” Aku hanya tersenyum getir dalam diam. Dengan siapa, Ma?
“Nggak Ma, aku belum ada rencana kok, biarkan saja Raina memilih tanggal yang dia suka, kasihan kalau harus menunggu aku.” Giliran hening di sana. Aku sadar betul arti keheningan itu. Tapi aku bisa apa?
“Acara lamaran rencananya Sabtu, dua minggu lagi. Kamu bisa datangkan?”
“Bisa, Ma. Apa yang bisa aku bantu? Semua persiapan sudah matang?”
“Kalau soal persiapan yang detail Raisya yang banyak membantu Raina. Mama belakangan ini agak kurang sehat jadi hanya memberi saran saja.”
“Jaga kesehatan ya, Ma. Kasihan Raina, pasti dia ingin sekali Mama yang mengurus acara itu, cuma Mama yang paling jago dalam hal-hal seperti itu. Masa mau menyerahkan ke Raisya atau ke Papa, mau disuguhi apa calon besan nanti, ketoprak abang-abang keliling?” candaku mencoba membuat suasana jadi ringan. Papaku memang terkenal sebagai orang yang paling santai di keluarga kami. Mama pernah bercanda dulu kalau ada acara pertemuan penting diserahkan kepada Papa bisa-bisa para tamu cuma disuguhi ketoprak abang-abang keliling.
            Suara Mama masih sedih ketika mengakhiri pembicaraan, jelas candaku tentang Papa dan abang ketoprak tidak berhasil membuatnya ceria. Tuhan, aku sangat bersyukur dikaruniai Mama seperti dia. Dia bukan hanya ibu yang menjaga fisik anaknya namun juga sangat hati-hati dalam menjaga perasaan kami. Namun kehati-hatiannya yang berlebihan terhadap perasaanku yang berhubungan dengan keterlambatan jodohku justru membuat aku bertambah sedih. Aku tidak ingin keadaanku mengurangi kebahagiaan adik-adikku yang menemukan belahan jiwa mereka lebih cepat dibanding aku.

***

Semuanya terjadi begitu cepat, satu menit aku sedang memandangi percikan air selangku, menit berikutnya badanku sendiri kuyup karena semprotan air dari selang. Bukan, bukan selangku. Air yang banyak itu berasal dari selang Tita, yang ternyata juga sedang menyiram bunga-bunganya.
“Aduh, maaf ya, Mbak. Ini nih, Papanya Dania iseng, dia besarin keran airnya, padahal Aku lagi pasang alat semprotnya di kekuatan maksimal.” Kata Tita sambil cepat berlari mendekat ke bagian pagar yang menjadi pemisah rumah kami berdua.
Nggak apa-apa kok.” Kataku yang masih setengah tercengang.

***

“Ya, Aku sendiri di sini. Udah setua Aku harus mandiri, kan?” candaku pada Tita, saat kami menikmati kue coklat buatannya. Kue permintaan maaf karena telah membuat aku basah kuyup tadi pagi.
“Mbak belum tua kali. Kalau Aku tebak, paling umur Mbak baru 31, betul kan?” pembawaan Tita yang ceria membuat pembicaraan kami sangat menyenangkan.
“Kamu lagi menggombal, ya? Umurku sudah mendekati 40.”
“Yaaah, ketahuan deh.” Tita berpura-pura kecewa. Aku tertawa. Seperti ada beban yang menguap seiring tawaku. Dan lembayung senja hari itu lebih indah dari biasanya.

***
 
Acara lamaran Raina berlangsung khidmat. Seluruh keluarga seperti sudah mendapat wejangan dari Mama untuk tidak bersikap atau menunjukkan perasaan bahagia yang terlalu berlebihan. Kasihan, sepertinya wajah semua orang menjadi kaku karena itu. Aku ingin menjerit, berkata pada semua, “Aku mohon, bersikaplah dengan biasa saja!” tapi tidak tersampaikan, aku tidak seberani itu. Akhirnya aku mencoba bersembunyi dalam tawa kecil Aaron, keponakan kecilku, cucu pertama Mama, anak dari Raisya. Bercanda dengan Aaron membuat aku rindu pada sarang kecilku yang nyaman. Rindu juga pada Dania.
Hal-hal ini yang membuatku semakin menjauh dari keluargaku sendiri. Aku merasa bersalah jika keberadaanku di tengah-tengah mereka justru menjadi alasan bagi mereka bersedih atau menahan kebahagiaan mereka. Kapan agaknya mereka bisa menerimaku apa adanya? Dengan kekuranganku yang satu ini?

***

Hidup punya cara yang unik untuk melengkapi kekurangan-kekurangan yang ada. Aku tidak memiliki cinta dan keluarga kecilku sendiri saat ini, tapi aku dapat menikmati semuanya hanya dengan melihat Tita, Andry, dan Dania. Mereka telah menjadi bagian dari hidupku.
            Andry suami yang baik, pelindung yang kuat untuk Tita dan Dania. Lelaki romantis yang bisa membuat wanitanya tersipu-sipu malu dengan sikapnya. Humoris dan ramah. Tita memang beruntung. Kadang dalam doaku pernah juga kusertakan sifat-sifat yang ada dalam Andry agar sifat-sifat yang sama ada juga dalam diri belahan jiwaku nanti. Walau aku belum tahu kapan dia akan datang.
Sore itu, dapurku dipenuhi aroma saus pasta. Tita baru saja mengajarkanku membuat lasagna dengan resep kesukaannya. Kami duduk menikmati lasagna tersebut dengan lemon ice tea.
“Mbak, Aku punya kejutan, tapi Aku mau Mbak tebak dulu apa kejutannya itu,” katanya sambil tersenyum seakan-akan ingin menggodaku agar penasaran akan cerita yang akan disampaikannya.
“Kenapa? Dania mau punya adik?” tebakku santai.
Iiiiiih, Mbak ini benar-benar nggak seru, deh. Kok bisa tahu, sih?” tawa renyah Tita memenuhi dapurku.
“Ya tahu lah, insting. Hahahaha… selamat ya, sudah berapa minggu?” tawaku sambil memeluknya erat.
“Belum tahu, baru tahu tadi pagi pakai test pack, besok baru mau ke dokter.”

Maka sejak hari itu aku juga menikmati kebahagiaan menjalani bulan demi bulan persiapan menyambut calon buah hati, walaupun bukan punyaku sendiri.

***

Pintu ruanganku diketuk.
“Masuk.”
Santi berjalan menghampiriku sambil tersenyum. “Mau ikutan makan siang bareng Kami,  Mbak? Kami mau coba kafe baru dekat kantor tunanganku. Nanti dia jemput ke sini.”
Wah, sepertinya seru tapi Aku baru saja pesan antar ke sini. Lain kali saja, ya.” senyumku. “Eh, tapi Kamu bisa tolong Aku nggak, Aku perlu pendapat nih?” tahanku sebelum Santi keluar dari ruanganku.
“Boleh, tentang apa?” Santi kembali mendekat.
“Ini nih.” Jariku lincah menekan mouse. Menutup laporan yang sedang kubuat dan membuka sebuah halaman online shop. Gambar-gambar mainan bayi yang lucu-lucu itu terpampang lagi. “Dari tadi malam Aku berusaha pilih, tapi semua lucu-lucu. Menurut Kamu yang mana yang pantas Aku beli?”
“Raisya mau punya baby lagi?”
Oh bukan, ini untuk anak tetanggaku.” Senyumku.
Hmm… ini lucu, tapi ini lucu juga. Wah, Mbak, Aku juga bingung nih.” Santi menunjuk beberapa gambar yang ada di screen.
Hahaha… tuh kan, seperti ingin beli semua, ya?”
“Hehehe… kalau Mbak sih bisa beli semua, kalau Aku bisa bangkrut, Mbak. Tapi setidaknya yang dua tadi jangan dilewatkan, Mbak. Aku turun dulu ya, sepertinya tunanganku sudah sampai.”
“Ok, have fun, ya. Maaf nggak bisa ikut.”

Aku sedang menikmati makan siang sendiri ketika tiba-tiba handphone-ku berbunyi. Dari Andry.
“Hallo? Ndry?”
Suara Andry terdengar berat, “Raiyya, Tita…”

***

Calon bayi itu pergi, kegugurannya menyebabkan pendarahan yang hebat pada Tita. Keadaannya kritis. Aku berkejaran dengan waktu mencoba membelah kemacetan untuk sampai segera di rumah sakit.
Seperti film dengan gerakan lambat ketika aku melihat Andry, Dania, dan seorang dokter berbaju putih di lorong rumah sakit itu. Andry menunduk, menggelengkan kepalanya kemudian menyetarakan dirinya dengan Dania. Memeluknya. Dania ikut menangis melihat ayahnya sesenggukan.
Tita…
Kumohon jangan pergi…
Bagaimana Andry?
Bagaimana Dania?
Bagaimana aku?

Duniaku tiba-tiba gelap, yang kurasa hanya sepasang tangan menangkap tubuhku yang jatuh.

***
 
Beberapa bulan berlalu. Jakarta masih bergelut dengan kemacetannya. Macet yang harus selalu dihadapi oleh para pengguna jalan dengan kreatif. Mendengarkan musik, berbicara di handphone, membaca koran atau seperti aku, mengulang kembali kejadian yang telah dilalui hari ini.
“Ternyata enak juga ya makanan di sini.” Kataku sambil meminum cappuccino blended.
“Ke mana saja, Mbak?” ejek Santi dan Mita.”
Lho? kan baru sekarang saat yang tepat. Proyek terakhir kita memenuhi target kerja tahun ini dan Aku punya sesuatu yang harus disampaikan untuk kalian berdua.” Kataku sambil mengeluarkan dua amplop undangan berwarna biru muda yang cantik dari tas, kemudian kuulurkan pada mereka. Keduanya memandang undangan itu dengan ekspresi terkejut.
“Mbak mau married? kok nggak pernah cerita, sih? Sama siapa? Ya ampun, Kami ikut seneng banget,” rentet mereka bergantian dengan cepat. Aku tidak dapat menangkap lagi siapa mengatakan apa. Sebelum mereka membuat seluruh pengunjung kafe ini memandang kami, aku segera menghentikan mereka berdua.
“Bukan Aku. Ini undangan Rania.” Mereka berdua terdiam. Ekspresi mereka sangat-sangat bersalah.
“Mama dan Rania minta Aku sampaikan ini buat kalian berdua. Katanya, acara Rania nanti bakalan sepi kalau nggak ada kalian.” Kataku sambil tertawa mencoba menghilangkan rasa bersalah itu. Mereka berdua tertawa malu sambil mengambil undangan itu.

***

Aku membelokkan mobilku masuk ke dalam garasi, memandangi rumah sebelahku yang kini sepi. Andry memutuskan untuk memboyong Dania tinggal di rumah orang tuanya, setelah kepergian Tita. Agar ada yang menjaga Dania dengan baik, katanya. Maka terpisahlah duniaku dan dunia mereka. Tapi sejauh apapun mereka pergi, apapun yang Tita telah berikan padaku tidak akan bisa mereka bawa pergi.

“Aku percaya Tuhan memberikan kita jalan hidup yang pada akhirnya akan melengkapi kita masing-masing, Mbak. Jalan hidup yang membuat kita bisa mengumpulkan pahala sebanyak-banyaknya. Ada orang-orang yang perlu pernikahan untuk memperbanyak pahala dalam hidupnya, maka Tuhan berikan mereka pernikahan. Ada orang-orang yang sebelum menikah pun bisa mengumpulkan banyak pahala, maka mungkin untuk orang-orang seperti ini Tuhan biarkan dulu mereka mengumpulkan pahala sebanyak-banyaknya tanpa pernikahan, hingga saat yang tepat nanti.”

Aku masih menunggu saat yang tepat itu, Tita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar